KEMBALI KE KEDAULATAN RAKYAT
PANDANGAN TERHADAP PERUBAHAN KONSTITUSI
Rekomendasi Kepada
Panitia Ad-hoc MPR tentang Amandemen UUD 1945
OLEH :
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
dan
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
bekerja sama dengan
Asian Network for Democracy in Indonesia (ANDI)
KATA PENGANTAR
Empat puluh tahun kita berada di bawah UUD 1945. Selama itu pula kita tidak pernah benar-benar hidup dalam praktek konstitusi yang benar. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 memang telah dijadikan alat bagi rezim yang berkuasa untuk mengamankan dan mengembangkan kekuasaanya. UUD 1945 yang dikenal bersifat supel dan berisi pokok-pokok saja, ternyata telah memberikan peluang besar bagi tumbuhnya negara otoriter.
Kita sudah muak dengan berbagai bentuk penindasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan praktek demokrasi seolah-olah. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk merombak dasar-dasar konstitusional bagi lahirnya negara yang otoriter. Tidak perlu lagi ada yang disakralakan. Sudah waktunya rakyat diajak berpikir merdeka dan kritis terhadap UUD 1945. Perubahan UUD adalah agenda politik rakyat. Dia tidak boleh hanya berada dalam genggaman elit politik. Proses ini harus disertai dengan dibukanya partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Dokumen ini tak hendak menyampaikan usulan perubahan pasal per pasal dari sebuah UUD. Melalui dokumen ini, YLBHI dan KRHN ingin memberikan jawaban terhadap pertanyaan “Mengapa perlu ada perubahan konstitusi, nilai-nilai apa yang mendasari perubahan, serta isu sentral apa yang harus masuk dalam perubahann, dan tentang bagaimana perubahan-perubahan itu harus diselenggarakan.”
Usulan ini disampaikan kepada masyarakat luas dan kepada anggota MPR dengan keyakinan bahwa Indonesia masa depan adalah Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Semoga Dokumen ini Bermanfaat.
BAMBANG WIDJOJANTO, SH
Ketua Dewan Pengurus YLBHI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I Menuju Demokrasi Yang Berbasis Hak Asasi Manusia 1-4
BAB II Nilai-Nilai Yang Mendasari Perubahan 5-13
BAB III Substansi Dan Strategi Perubahan 14-18
BAB I
MENUJU TERWUJUDNYA DEMOKRASI
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
Pada saat ini semua pihak sedang membicarakan mengenai perlunya perubahan terhadap UUD Republik Indonesia tahun 1945. Dengan suasana kenegaraan sedang kondusif tersebut, semangat untuk melakukan perubahan harus mendapat dukungan seluruh lapisan masyarakat. Namun yang perlu diingatkan mengenai hal itu adalah perubahan terhadap konstitusi harus menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar sesuai dengan semangat reformasi. Yakni terwujudnya sebuah demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) sebagaimana yang diimpi-impikan dua ratus juta lebih rakyat Indonesia.
Untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan pemahaman sungguh-sungguh terhadap esensi demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam upaya mendorong (encourage) ke arah pemahaman itu Yayasan LBH Indonesia dan KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional) mengajak dan menyerukan berbagai pihak untuk merefleksi kembali gagasan dan konsepsi tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Refleksi atas konsep dan gagasan mengenai demokrasi dan nilai-nilai hak asasi, secara tulus dan kritis, akan mampu membawa perubahan yang hakiki terhadap substansi konstitusi, sekaligus dimaksudkan untuk menghindari jebakan euforia demokrasi dan hak asasi manusia, menjauhkan bicara tentang demokrasi dan nilai hak asasi manusia hanya sekedar lipstik atau mengikuti kecenderugan umum semata. Dengan demikian, perubahan konstitusi yang dilakukan bukan sekedar perubahan tanpa makna, perubahan hanya demi perubahan itu sendiri atau agar dicap sebagai golongan reformis.
Pluralisme (Keragaman) Sebagai Realitas Sosial
Dalam perjalanan panjang kehidupan umat manusia proses interaksi yang terjadi baik antar bangsa, antar suku, antar komunitas bahkan antar individu selalu diwarnai adanya berbagai perbedaan kepentingan. Interaksi dengan kepentingan yang beragam secara ekonomi, politik, dan sosial budaya pada akhirnya mendorong timbulnya berbagai konflik. Bahkan acapkali melahirkan ketegangan-ketegangan antar manusia maupun antar kelompok.
Sejarah mencatat, bahwa sebagian besar konflik yang timbul antar manusia (antar golongan, jenis kelamin, suku, dan ras) diselesaikan dengan cara-cara kekerasan dan bengis yang mengakibatkan ratusan ribu manusia kehilangan keluarga dan kehilangan harta bendanya, hancurnya lingkungan hidup bahkan jutaan nyawa harus melayang secara sia-sia.
Dengan pemahaman sejarah konflik sosial yang penuh kekerasan dan kekejaman yang tiada tara, mengakibatkan ketakutan yang berlebihan terhadap pluralitas. Pluralitas dan konflik telah menjadi trauma. Perbedaan kepentingan selalu dimaknai dengan konflik yang berbasis kekerasan yang ditujukan pada umat manusia maupun harta benda dan lingkungan. Kenyataan itu terjadi di negara negara yang watak dan budaya demokrasi dan penghormatan nilai-nilai hak asasinya masih lemah dan "angin-anginan". Di negara seperti ada dorongan yang sangat kuat untuk menjawab seluruh konflik yang terjadi dengan menempatkan posisi negara secara superior, berlebihan dan tanpa kontrol. Dalam posisi seperti itu tidak terhindarkan munculnya kekerasan yang membabi-buta dilakukan dan disponsori oleh negara terhadap rakyat.
Respons negara yang mengedepankan kekerasan juga diilhami oleh ideologi yang memuja-muja harmoni dan sekaligus mengharamkan konflik. Keberadaan konflik selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang menyeramkan dan buruk seperti disintegrasi, anarki dan segala hal yang merugikan rakyat. Oleh karenanya harus diredam dan dicegah sedini mungkin. Berangkat dari ideologi tersebut, penggunaan kekerasan dalam menghadapi konflik menjadi suatu keharusan dan absah. Dengan didukung oleh konsepsi kedaulatan negara yang cenderung fasis, negara merasa sebagai satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan melakukan kekerasan, sebab negara adalah pemegang kendali politik ekonomi dan moral. Pada gilirannya, pandangan yang mengedepankan aksi-aksi kekerasan mengembangkan sebuah konsepsi yang mengedepankan politik kekerasan (political violence by state) ketimbang menyelesaikan konflik dengan prinsip anti kekerasan.
Ketika manusia mulai mengamati bahwa pendekatan kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik bahkan cenderung mereproduksi berbagai kekerasan dan sentimen baru, maka muncullah sebuah kesadaran kritis, bahwa pendekatan kekerasan bukanlah cara yang harus dijadikan pilihan dalam menghadapi konflik.
Dari sebuah proses perenungan yang dilakukan secara terus-menerus mengenai pluralitas, konflik, dan kekerasan mendorong lahirnya sebuah pemahaman yang diyakini yaitu :
1. Pluralitas dan konflik adalah fenomena sosial yang bersifat alamiah (natural). Oleh karena sifatnya yang alamiah, maka pluralitas dan konflik tidak bisa dihindari akan tetapi harus dihadapi dan dikelola.
2. Kekerasan bukan disebabkan oleh adanya pluralitas dan konflik. Munculnya kekerasan sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang salah terhadap fenomena pluralitas dan konflik serta ketidakmampuan manusia dalam menghadapi dan mengelola konflik tanpa kekerasan. Cara-cara menghadapi konflik dengan kekerasan lahir dari struktur dan kultur yang buas dan pro kekerasan serta mengagung-agungkan nilai-nilai represivitas yang ada selama ini. Akibatnya masyarakat tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk menghadapi konflik tanpa kekerasan.
Dari Kedaulatan Non-Rakyat Menuju Kedaulatan Rakyat
Ketika interaksi antar manusia mulai memasuki tahap yang lebih besar dan lebih kompleks, maka secara otomatis pluralitas kepentingan juga semakin meningkat. Kenyataan ini mendorong masyarakat untuk mencari-cari persamaan dan mengorganisir atau mengelola perbedaan-perbedaan dengan tujuan meminimalkan konflik dan seluruh akibat yang timbul. Rekonstruksi sosial yang dilakukan paling tidak melahirkan berbagai perubahan sosial, misalnya ditandai dengan munculnya
paham-paham politik tradisional yang mengorganisir masyarakat dalam sebuah tatanan nilai yang mereka yakini. Dalam perkembangannya, pandangan yang selalu mengembalikan nilai-nilai dan ajarannya pada Zat yang metafisis kemudian dikenal dengan konsep Kedaulatan Tuhan (Theokrasi). Pada fase selanjutnya, manusia mencoba mencari bentuk-bentuk "Ketuhanan" yang lebih kongkrit. Kemudian muncullah teori Kedaulatan Raja (monarki), dimana raja adalah wakil Tuhan di dunia. Dalam perjalanannya, kedaulatan raja dirasakan tidak cukup memuaskan dan tidak mampu mengakomodir konflik yang berkembang. Konsep ini menimbulkan kekuasaan yang absolut dan sentralistik serta anti kritik. Sebab raja adalah wakil Tuhan di dunia, sedangkan Tuhan adalah suci dan bebas dari kesalahan maka raja sebagai wakil Tuhan tentu harus suci dan tidak boleh salah atau dipersalahkan (King can do no wrong).
Namun dalam sejarah ketatanegaraan membuktikan bahwa praktek kekuasaan demikian justru menimbulkan berbagai konflik sosial. Hal ini ditandai dengan jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di masa lalu. Sedangkan kerajaan yang mampu membaca tuntutan rakyat melakukan proses perubahan-perubahan secara fundamental seperti yang terjadi di Britania Raya yang dulunya adalah sebuah monarki (absolut) berubah menjadi monarki konstitusional. Lahirnya monarki konstitusional adalah cikal bakal yang mendorong lahirnya sebuah konsep organisasi modern.
Dalam perjalanan kemudian, terutama ketika masyarakat-bangsa di dunia sebagian besar melihat negara sebagai bentuk organisasi yang ideal, bukan lagi kerajaan dimana nasib seluruh rakyat hanya digantungkan pada satu orang (monarki) yakni raja. Sedangkan negara akan dijalankan oleh lebih dari satu orang. Oleh karenanya negara dipandang akan lebih baik dalam menjembatani dalam menyelesaikan konflik yang timbul akibat adanya pluralitas kepentingan.
Lahirnya sebuah negara ternyata juga diikuti dengan lahirnya "saudara kembarnya" yakni dikotomi sosial-politik (kelas sosial). Ada kelas yang memerintah (the ruling class) dan yang diperintah (the ruled class). Dikotomi adanya "kelas-kelas" yang berbeda adalah sebuah konsekuensi logis dari adanya sebuah negara. Sebab negara tetap membutuhkan manusia yang akan bertindak atas nama negara. Secara politik mereka disebut sebagai kelas yang sedang berkuasa (the ruling class). Sedangkan kelas yang lainnya adalah kelas yang diperintah (the ruled class).
Dalam prakteknya, negara adalah sebuah organisasi yang tidak netral. Negara yang seharusnya bisa menjembatani dan menyelesaikan konflik yang terjadi antar masyarakat ternyata malah menjelma menjadi sumber konflik baru dengan berpihak pada kepentingan-kepentingannya sendiri. Negara telah menjadi sebuah monster yang mampu memaksakan kehendaknya pada rakyat. Negara dapat dengan bebas membasmi rakyat atas nama hukum. Di samping itu, apa yang digembar-gemborkan oleh negara untuk memperjuangkan terwujudnya kepentingan umum semakin dipertanyakan rakyat. Sebab kepentingan umum ternyata hanya memberikan keuntungan pada kelompok kecil (elit politik dan kroninya). Jadi kedaulatan negara identik dengan kedaulatan segelintir orang (oligarki). Akibatnya hukum hanya mengabdi pada kepentingan segelintir orang, yakni penguasa (the ruling class).
Padahal eksistensi kedaulatan negara untuk berbicara atas nama rakyat legitimasinya adalah kepentingan umum. Dengan ketidakmampuan negara memerankan fungsinya sebagai organisasi untuk mengakomodir kepentingan seluruh rakyat melalui kepentingan umum, maka sesungguhnya negara mulai kehilangan legitimasi politiknya. Runtuhnya konsep kedaulatan negara dimulai ketika legitimasi yang dimilikinya mulai pudar. Hilangnya legitimasi negara dibuktikan dengan menguatnya tuntutan rakyat terhadap negara agar negara memainkan fungsinya dengan benar, yakni betul-betul mengutamakan kepentingan umum atau kepentingan rakyat.
Dalam mendasarkan pada pengalaman sejarah dimana negara banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abus de droit) dengan meningkatnya tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia, maka berkembang gagasan untuk menempatkan rakyat sebagai pengendali negara sekaligus sebagai pemegang kedaulatan. Lahirnya gagasan kedaulatan rakyat sekaligus mengukur adanya kedaulatan negara. Dengan didasarkan pada konsep kedaulatan rakyat peran negara harus dibatasi, dikendalikan, dan dikontrol. Negara tidak boleh dibiarkan bebas mengembara dan menjelajah mengikuti kehendak politik elitnya (the ruling class). Kemudian diyakini, bahwa negara akan dapat memainkan fungsinya secara benar bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Kelas yang berkuasa (the ruling class) tidak bisa berbuat semaunya sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini;
2. Adanya pengendalian (melalui mekanisme kontrol dan partisipasi) masyarakat yang lebih luas terhadap negara. Keterlibatan yang lebih fundamental peran rakyat terhadap negara adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi;
3. Agar rakyat terhindar dari kesewenang-wenangan penguasa, dibutuhkan jaminan adanya perlindungan hak-haknya;
4. Agar semuanya bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka dibutuhkan sebuah aturan main (rule of the game), dimana rakyat akan menentukan bagaimana ia (rakyat) akan diperintah.
Karakter yang mendasari lahirnya gagasan tersebut adalah keinginan yang tidak terbendung untuk mewujudkan sebuah kedaulatan rakyat dengan didukung adanya demokrasi sejati atau demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia (human rights based democracy).
BAB II
NILAI YANG MENDASARI PERUBAHAN
Praktek kekuasaan yang cenderung manipulatif dan membungkam aktualisasi perlindungan Hak Asasi Manusia akan menodai kedaulatan rakyat. Sebagai reaksi atas kondisi tersebut muncullah sebuah kesadaran kritis tentang ide dan gagasan konstitusionalisme.
Esensi ide dan konsep konstitusionalisme adalah adanya sebuah negara hukum (the rule of law) dan adanya penghargaan dan perlindungan terhadap kebebasan manusia serta dibatasinya kekuasaan negara. Semua ide tersebut tertuang dalam sebuah konstitusi. Dalam konteks itu, konstitusi atau undang-undang dasar sebagai konstruksi rasional dari konsep negara hukum ibarat garis demarkasi yang disepakati yang menempatkan rakyat di satu sisi dan negara di sisi yang lain. Garis demarkasi ini perlu dibuat karena selalu ada kecenderungan negara melanggar hak-hak asasi rakyatnya.
Dalam sejarah kekuasan Orde Lama maupun Orde Baru yang menggunakan UUD 1945 sebagai dasar menjalankan kekuasaannya, membuktikan bahwa rakyat tidak bisa mengandalkan itikad baik penguasa. Asumsi bahwa penguasa memiliki itikad baik dalam menyelenggarakan kekuasaan telah digugurkan oleh praktek pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang sangat otoriter. Kenyataan membuktikan bahwa Soekarno dan Soeharto, bukan saja terus-menerus ingin menduduki kursi kepresidenan, tetapi juga terus-menerus mengakumulasi kekuasaan dengan legitimasi UUD 1945. Akibatnya, sistem ketatanegaraan mengalami distorsi yang serius karena sudah tidak ada lagi batas-batas yang jelas antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan seluruh lembaga supra struktur semuanya berada di bawah bayang-bayang kekuasaan eksekutif. Hal ini bisa terjadi karena UUD 1945 memang membuka ruang yang sangat besar bagi siapapun yang akan berkuasa (the ruling class) untuk melakukan manipulasi terhadap isi konstitusi.
Praktek-pratek pengingkaran terhadap konstitusi yang dilakukan oleh rejim-rejim yang telah lalu adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan pada kita bahwa kelemahan-kelemahan yang ada di dalam UUD 1945 betul-betul telah dimanfaatkan secara optimal oleh rejim Soekarno dan Soeharto untuk membangun singgasananya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan rakyat apalagi berusaha memperbaiki kelemahan UUD 1945. Jadi UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang betul-betul menguntungkan posisi rejim yang berkuasa. Sebab mereka bisa berteriak-teriak pada dunia bahwa “Indonesia adalah negara demokrasi meksipun sesungguhnya adalah negara tirani, Indonesia adalah negara yang menghormati Hak Asasi Manusia walaupun sesungguhnya adalah sebuah negara yang didukung oleh militer yang tukang culik, tukang teror, dan pembunuh berdarah dingin”. Hal ini bisa terjadi disebabkan UUD 1945 adalah tameng dan baju yang all size yang bisa digunakan oleh siapa pun.
Pelecehan terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan oleh rejim yang berkuasa selama ini, bukan dalam waktu singkat. Yang memprihatinkan adalah pelecehan yang
dilakukan tersebut disembunyikan di bawah ketiak rezim dengan jargon akan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bahkan UUD 1945 (dengan Pancasila di dalamnya) adalah alat ampuh untuk menakut-nakuti dan menjebloskan rakyat ke dalam kerangkeng penjara.
Berdasarkan pengalaman empirik, berdemokrasi dengan konstitusi yang memihak pada penguasa (the ruling class) adalah tidak menghasilkan apa-apa kecuali penderitaan rakyat. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah konstitusi baru yang mengakomodir prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekaligus memberikan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Artinya, perubahan konstitusi jangan dibiarkan berjalan tanpa tuntunan moral dan prinsip demokrasi. Tanpa itu negara akan kembali mengabdi pada kepentingan penguasa. Jadi perubahan konstitusi sesungguhnya adalah perubahan yang sarat dengan nilai. Dalam konteks menuju Indonesia Baru, nilai yang menjadi dasar perubahan adalah demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Prinsip-prinsip demokrasi dan nilai Hak Asasi Manusia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah tatanan kehidupan bernegara. Yang perlu diyakini adalah prinsip-prinsip demokrasi tidak pernah bisa ditegakkan tanpa adanya perhargaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Demikian sebaliknya, nilai-nilai Hak Asasi Manusia hanya akan terwujud di alam demokrasi.
A. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Hingga saat ini sebagian besar negara modern di dunia ini masih menerima gagasan negara demokrasi sebagai pilihan yang terbaik. Demokrasi yang berintikan pada paham kedaulaan rakyat, memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi upaya umat manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dalam sebuah lingkup organisasi yang bernama negara. Beberapa hal esensial di dalam kehidupan negara yang demokratis adalah :
1. Partisipasi
Paham kedaulatan rakyat memperoleh legitimasinya secara politik melalui partisipasi rakyat. Jadi dengan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya maka rakyat yang akan menentukan kemana negara akan dibawa, bagaimana sistem pemerintahan harus diselenggarakan, siapa yang akan dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan
Partisipasi rakyat sesungguhnya mengutamakan adanya partisipasi secara langsung. Namun dalam praktek, partisipasi rakyat lebih memuliakan partisipasi secara perwakilan. Kecenderungan mengedepankan model perwakilan sebagai pilihan yang dianggap paling efisien dalam mengakomodasikan partisipasi rakyat. Ternyata terbukti menimbulkan berbagai ketidakpuasan sebab mulai terungkap bahwa sistem perwakilan ini memiliki kecenderungan yang besar terjadinya memanipulasi aspirasi rakyat. Dalam mewujudkan demokrasi yang berbasis Hak Asasi Manusia adalah sebuah keharusan untuk menghilangkan berbagai praktek manipulasi partisipasi rakyat. Sebab partisipasi adalah inti dari sebuah demokrasi, tanpa partisipasi tidak ada demokrasi.
Oleh karena itu dalam mengambil keputusan-keputusan strategis, harus tetap dimungkinkan adanya partisipasi secara langsung. Nasib buruk pemerintahan otoriter yang pernah berkuasa di Indonesia adalah sebuah cermin dan sekaligus peringatan bagi pemerintahan baru yang akan mencoba mengembangkan sebuah rezim otoritarian baru. Rezim-rezim yang yang telah disingkirkan selalu mengklaim dirinya sebagai pemerintahan demokratis (Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila), di tingkat retorika pemerintah bersikap peduli dan manis terhadap partisipasi rakyat.
Meskipun semuanya itu adalah dalam rangka mengelabui rakyat dimana sesungguhnya rezim-rezim yang lalu adalah anti terhadap partisipasi rakyat. Hal ini dapat dilihat bagaimana rejim-rejim tersebut membungkam bentuk-bentuk partisipasi rakyat dengan mengatasnamakan kepentingan umum yang sesungguhnya adalah kepentingan yang berkuasa (the ruling class), seperti pembatasan kebebasan pers, penyelenggaraan Pemilu yang tidak jujur, pemandulan fungsi DPR dan MPR, pembatasan hak berserikat dan berkumpul, hak berekspresi hingga kooptasi negara atas organisasi rakyat dan partai politik serta melalui cara-cara yang halus seperti pengembangan stigma terhadap aktivis pro demokrasi, manipulasi informasi dan sejarah; hingga cara-cara kasar dan bengis, misalnya dalam bentuk penculikan, penahanan sewenang-wenang hingga ke pembunuhan lawan-lawan politik oleh rejim yang berkuasa. Dalam konteks Indonesia, kekuasaan militer yang tanpa batas dan merambah masuk ke bidang-bidang non militer atas nama Dwifungsi TNI semakin memperkuat tesis bahwa negara melihat partisipasi rakyat sebagai ancaman.
Dengan kenyataan itu rakyat semakin yakin bahwa partispasi rakyat adalah sebuah kebutuhan yang sangat esensial. Namun mereka juga sadar bahwa partisipasi juga mudah dimanipulasi. Agar hal itu tidak terjadi dan dapat berjalan efektif dibutuhkan prasyarat tersebut yang meliputi: tidak adanya kendala eksternal yang mengurangi atau menutup akses rakyat untuk berpartisipasi.
Jika dikaitkan dengan ancaman yang muncul dari negara terhadap praktek partisipasi rakyat selama ini, maka adanya penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat dianggap sebagai prasyarat yang dimaksud. Kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul harus dihargai oleh negara. Kebebasan atas informasi juga harus dihargai. Tanpa adanya penghargaan atas kebebasan tersebut, niscaya partisipasi rakyat menjadi lumpuh tanpa makna.
Rakyat juga harus dilindungi haknya untuk tidak diperlakukan secara sewenang-wenang manakala hak itu diaktualisasi dalam rangka untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Prasyarat lainnya adalah: tidak adanya kendala internal yang mengurangi kemungkinan pelaksanaan partisipasi, yaitu tidak adanya ketrampilan yang memadai di pihak rakyat yang berkaitan dengan bagaimana partisipasi harus dilakukan. Prasyarat eksternal dan internal adalah saling melengkapi satu sama lain.
2. Pembatasan Kekuasaan
Kekuasaan lembaga-lembaga negara harus bersifat limitatif. Pemberian kekuasaan eksekutif yang begitu besar terbukti telah melahirkan kekuasaan yang tak terkontrol dan otoriter yang memiliki kecenderungan untuk menyerap
kekuasaan-kekuasaan lain yang masih tersisa di lembaga tinggi negara lain bahkan kedaulatan rakyat sekalipun. Di samping itu kekuasaan yang tidak terbatas telah mendorong negara (the ruling class) merasa menjadi sumber kebenaran, suara negara adalah suara Tuhan. Kenyataan ini tentu bertentangan dengan suara kebenaran ala demokrasi dimana suara rakyat adalah suara Tuhan.
Dalam praktek berkonstitusi di Indonesia, rejim Orde Baru telah menempatkan konstitusi sebagai dalih dan tameng yang efektif untuk memperoleh kekuasaan yang lebih luas. Rejim Orde baru bersemboyan akan mempertahankan keberadaan UUD 1945 dan menjalankannya secara murni dan konsekuen. Namun semboyan tersebut juga sebagai senjata yang digunakan oleh rejim Orde Baru untuk mengubah substansi UUD 1945 sekalipun hal ini tidak pernah diakui secara resmi oleh rejim Orde Baru. Yang pasti, dengan cara itu rezim Soeharto telah sukses besar menumpuk kekuasaan di tangannya dan atas sumbangsih pasal 7 UUD 1945, ia dapat berkuasa hingga tujuh kali masa jabatan.
Bukti-bukti bahwa konstitusi telah diubah oleh rejim Orde baru demi pelestarian kekuasaan rejim Orde Baru yang anti demokrasi dan nilai-nilai Hak Asasi Manusia adalah lahirnya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, Tap MPR Nomor I Tahun 1978 tentang Tata Tertib MPR, Tap MPR Nomor IV Tahun 1983 tentang Referendum. Undang Undang dan ketetapan MPR tersebut dibuat dengan maksud untuk memustahilkan terjadinya perubahan atas Undang Undang Dasar 1945. Sekalipun Orde Baru tidak pernah mempermaklumkan niatnya untuk mengubah UUD 1945, dengan adanya Undang Undang dan TAP MPR tersebut, rezim Orde Baru nyata-nyata telah mengubah UUD 1945, terutama isi Pasal 37. Rezim Orde Baru menyadari benar bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang berjasa dalam memperluas dan melanggengkan kekuasaannya. Hal yang sama juga dapat ditemui dalam Undang Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu Undang Undang Nomor 9 Tahun 1999. Undang Undang yang dibuat untuk mengubah substansi pasal 28 UUD 1945 yang menjamin dihormatinya hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Dalam kasus yang lain, MPR, dalam Sidang Umum tahun 1988, telah mengeluarkan TAP Nomor VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Presiden Mandataris MPR dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional. TAP MPR ini jelas-jelas telah menyimpang diri UUD 1945, karena melalui TAP ini presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dia bisa melakukan apa saja sesuai dengan yang digemarinya. TAP MPR dengan isi yang hampir sama juga dikeluarkan lagi pada Sidang Umum MPR tahun 1997, setahun menjelang jatuhnya kekuasaan
Soeharto. Kenyataan itu semakin memperkuat keyakinan rakyat bahwa perubahan konstitusi adalah sebuah keharusan. Dimana perubahan tersebut didasari keinginan untuk membatasi kekuasaan negara. Dengan semakin terbatasnya kekuasaan negara maka secara otomatis akan mendorong menguatnya kekuasaan rakyat.
3. Pemisahan Kekuasan Negara
Ide pemisahan kekuasaan negara (separation of power) selama ini dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia. Gagasan ini lebih banyak datang dari pihak pemerintah maupun pihak-pihak lain yang membela posisi pemerintah. Agar tidak terlalu jauh dari ide pemisahan kekuasaan sebagai syarat adanya sebuah negara hukum, kemudian dikembangkan sebuah teori tentang “pembagian kekuasaan” (division of power) oleh ilmuwan tukang dari rejim Orde Baru. Argumentasi yang dikembangkan adalah, UUD 1945 tidak mengenal pemisahan yang tegas. Dalam hal-hal tertentu bahkan lembaga-lembaga negara yang memegang kekuasaan tersebut dimungkinkan untuk bekerja sama. Dalam konteks relasi antar kekuasaan negara, UUD 1945 menganut paham harmoni atau keseimbangan. Oleh karena itu, UUD 1945 tidak sepenuhnya menyediakan mekanisme checks and balances dalam hubungan antar kelembagaan negara. Kalau kekuasaan membuat undang-undang yang di pegang oleh presiden dan DPR dapat dilihat sebagai bentuk checks and balances, maka itupun dalam prakteknya telah direduksi hingga ke tingkatan yang minimal. Format politik yang dibangun rejim Orde Baru dan juga dibenarkan oleh UUD 1945, telah memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada presiden, dan pada akhirnya, secara sistematis, mengakibatkan proses pemandulan lembaga perwakilan rakyat. DPR berubah menjadi partner pemerintah dan “tukang stempel” keputusan-keputusan pemerintah.
Kerancuan batas-batas kekuasaan antar lembaga juga terjadi antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Kerancuan ini muncul karena ketidakjelasan UUD 1945 dalam merumuskan kekuasaan kehakiman yang independen. Oleh karena itu, rejim Orde Baru dengan mudah mengeluarkan sebuah undang-undang yang kemudian membelenggu kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman, akhirnya, terserap ke dalam kekuasaan eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang independen tidak pernah terwujud selama ini. Dalam suasana demikian, eksekutif-lah yang mengambil keuntungan. Lembaga peradilan telah diubah menjadi alat pembenar bagi tindakan-tindakan pemerintah.
Sudah waktunya pemisahan kekuasaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan dibutuhkan dalam upaya mewujudkan sistem ketatanegaraan yang demokratis di Indonesia. Pemisahan kekuasaan bukanlah hal yang tabu diterapkan di Indonesia. Hubungan antar lembaga negara khususnya yang memegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus direkonstruksi sehingga bisa saling mengontrol.
4. Penguatan Basis Lokal
Untuk menyikapi perkembangan dunia yang semakin global, pilihan untuk mengembangkan kapasitas lokal dengan tetap berorientasi pada potensi-potensi lokal, adalah pilihan yang sangat tepat. Model pemerintahan yang sentralistik dan serba seragam telah terbukti gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebab model pemerintahan ini cenderung memandang potensi lokal (sumber daya ekonomi, sosial budaya dan politik) sebagai “lahan eksploitasi” yang harus mensubsidi dan mengabdi kepentinganpusat. Akibat
dari eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat di wilayah Aceh, Irian Jaya, Kalimantan, Riau dan wilayah-wilayah lainnya tidak saja menciptakan degradasi terhadap lingkungan hidup namun juga menjerumuskan masyarakat lokal pada kemiskinan yang sistematik sekaligus gagal melindungi hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Penguatan basis lokal bukan semata-mata pendistribusian kekuasaan birokrasi dari pemerintahan pusat ke daerah. Tapi lebih dari itu, penguatan basis lokal didasarkan pada sikap penghargaan atas nilai-nilai pluralitas. Pada dasarnya setiap daerah memiliki karakter dan potensi yang tidak sama. Pemerintah pusat dibentuk tidak untuk membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi sesuatu yang sama dan seragam. Sebab tidak semua yang berbeda dapat dan harus dibuat sama dan seragam. Pemerintah pusat dibentuk oleh daerah untuk menjaga agar perbedaan atau pluralitas tetap dihargai dan sekaligus menempatkan perbedaan atau pluralitas sebagai basis penguatan daerah.
Dalam upaya mendorong munculnya pemerintahan di daerah yang kuat, keberadaan TNI dengan basis teritorialnya harus dilihat sebagai faktor penghambat yang signifikan. Sebab militerisme pada prinsipnya menolak dan menentang keragaman.
5. Pers Yang Bebas
Kehidupan pers Indonesia telah kenyang dengan pahit getirnya hidup di bawah rejim yang anti pers kritis. Dalam perjalanan panjang kekuasaan rezim-rezim yang ada sejak Indonesia merdeka memiliki garis politik sama. Dimana pers diposisikan sebagai musuh dan harus diwaspadai sebab pers selalu meneriakkan dan menyuarakan hal-hal yang tidak “berkenan” atau tidak disukai oleh kekuasaan. Oleh karena itu, keberadaan pers diperlakukan sama dengan lawan-lawan politik yang harus diberangus dan dibungkam. Pembredelan dan sensor media, politik perijinan pers, teror, pemenjaraan, penyiksaan dan pembunuhan wartawan merupakan bagian dari respon negara dalam menyikapi sekaligus menolak koreksi yang dilakukan oleh pers. Selama 54 tahun di bawah rejim Orde Lama dan Orde Baru sudah tidak terhitung banyaknya terjadinya penindasan dan kekerasan yang ditujukan pada pers.
Tindakan penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh rejim yang berkuasa terhadap pers adalah bukti bahwa rejim yang berkuasa ingin menggunakan kekuasaannya secara absolut oleh karenanya tidak mau dikontrol apalagi dikritik. Padahal apa yang dilakukan oleh pers sesungguhnya hakekat dari hak berekspresi dan sekaligus wujud partisipasi rakyat untuk mengontrol perilaku kekuasaan. Jadi hambatan, kekerasan, dan penindasan terhadap pers sesungguhnya adalah hambatan terhadap pelaksanaan hak-hak asasi yang dimiliki rakyat.
Dalam kehidupan demokrasi dewasa ini pers telah menjadi sebuah realitas sosial. Pers menjadi salah satu kekuatan di luar negara (non government) yang mampu melakukan penyikapan secara cepat (rapid response) terhadap hal-hal yang mempengaruhi atau memberi dampak pada masyarakat luas. Bahkan pers yang bebas telah menjadi sebuah tolok ukur yang sejajar dengan tolok ukur lainnya untuk melihat demokratis dan tidaknya sebuah negara.
Sebab keberadaan pers ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan demokrasi. Terutama dalam menumbuhkan “budaya dialogis” anti kekerasan serta mencegah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang lebih luas.
Berdasarkan pada kenyataan itu maka kebebasan pers yang bebas harus diletakkan secara proporsional dalam negara yang menganut paham demokrasi dan menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia
Perubahan terhadap UUD RI tahun 1945 yang akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tidak akan membuat UUD baru akan lebih memihak rakyat bila perubahah yang dilakukan tidak dilandasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab nilai HAM adalah nilai yang memberikan ruang politik, ekonomi, dan sosial budaya pada rakyat sekaligus melindungi dari perbuatan melawan hukum dan tindakan pelanggaran HAM yang bengis lainnya yang dilakukan oleh penguasa.
Oleh karena itu, bila perubahan yang terjadi betul-betul mengabaikan nilai HAM maka perubahan yang dilakukan tidak hanya sekedar mengabaikan hak-hak fundamental yang dimiliki rakyat, namun juga akan menggiring negara ini secara tahap demi tahap menuju terciptanya kedaulatan negara. Sebab implikasi dari pengurangan terhadap hak-hak rakyat secara otomatis hak itu akan diserap oleh negara. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi distorsi dari semangat reformasi yang selama ini disambut secara gegap-gempita oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Artinya reformasi akan gagal. Kita akan bersiap-siap menyongsong datangnya sebuah negara otoritarian baru, bahkan tidak menutup kemungkinan lahirnya sebuah negara totaliter baru yang berbaju demokrasi.
Agar negara otoriter atau totaliter tidak akan hadir kembali di bumi Indonesia, maka YLBHI dan KRHN menyerukan agar perubahan UUD RI tahun 1945 harus
memihak pada kepentingan rakyat. Pemihakan terhadap rakyat adalah dengan memberikan penghormatan terhadap HAM yang telah diakui secara mendunia. Hal ini harus dibuktikan dengan memasukkan nilai-nilai HAM ke dalam perubahan UUD RI tahun 1945.
Masuknya nilai-nilai HAM ke dalam konstitusi bukanlah fenomena baru di Indonesia. Kita pernah hidup di bawah UUDS 50 yang sarat dengan muatan-muatan HAM. Artinya, sebagai bangsa kita telah membuktikan diri bahwa kita pernah bisa menyusun sebuah konsitusi yang menghargai HAM. Tetapi sejarah kehidupan konstitusi di Indonesia juga membuktikan, tetap ada sikap penolakan terhadap masuknya nilai-nilai HAM di dalam konstitusi. Penolakan ini terutama datang dari pihak-pihak yang merasa dibatasi kekuasaannya manakala nilai-nilai HAM diterima di dalam konstitusi. Sejarah penolakan terhadap nilai-nilai HAM dalam konstitusi adalah pelajaran yang berharga bagi rakyat Indonesia. Rakyat bisa menyaksikan bahwa para pihak yang dulu dengan gigih menentang berlakunya UUDS 50, akhirnya terbukti sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas praktek pelanggaran HAM di negeri ini.
Nilai-nilai HAM yang harus dimasukkan ke dalam perubahan UUD RI tahun 1945 adalah sebagai berikut :
A. Hak Sipil dan Politik
Hak sipil dan politik adalah hak yang sangat penting khususnya menyangkut hubungan negara (state) dan masyarakat sipil (civil society). Prinsip kebebasan (manusia) yang sesungguhnya dianut oleh seluruh piagam dan perjanjian internasional lainnya. Salah satu hak politik yang sangat fundamental dalam kaitannya dengan prinsip kebebasan adalah hak untuk menentukan nasib sendiri. Sedangkan hak sipil dan politik lainnya yang tidak kalah pentingnya dan kontekstual dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara selama ini antara lain:
1. Penghapusan atas hukuman mati
2. Kebebasan dari rasa takut
3. Bebas dari penganiayaan dan perilaku kejam lainnya
4. Kedudukan sama di hadapan hukum
5. Diadili oleh peradilan yang jujur dan independen
6. Bebas untuk bergerak dalam suatu wilayah tertentu
7. Diakui sebagai subyek hukum dimanapun berada
8. Kebebasan untuk berpikir
9. Kebebasan berorganisasi
10. Kebebasan untuk berkumpul
11. Kebebasan menyatakan pendapat
12. Bebas memeluk agama dan kepercayaan yang diyakini
13. Kebebasan mendapatkan informasi
14. Bebas dari peperangan
B. Hak-Hak Ekonomi
1. Kesempatan yang sama untuk berusaha
2. Memperoleh kehidupan yang layak
3. Memperoleh pembangunan dan hasil-hasilnya
C. Hak Sosial dan Budaya
1. Memperoleh pendidikan
2. Hak atas kebudayaan sendiri bagi kaum minoritas (bahasa dan agama)
3. Hak atas pekerjaan, syarat-syarat pekerjaan yang adil, kondisi kerja yang aman dan sehat serta promisi ke tingkat (jabatan) yang lebih tinggi, istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja serta upah yang adil tanpa pembedaan berdasarkan apapun
4. Jaminan sosial (termasuk asuransi sosial)
5. Hak untuk berkeluarga
6. Memperoleh lingkungan yang sehat dan bersih
Di samping hak-hak tersebut, patut pula diperhatikan hak-hak perempuan, hak-hak anak, hak-hak orang cacat, dan hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples).
BAB III
SUBSTANSI DAN STRATEGI PERUBAHAN
Substansi Perubahan
Gagasan tentang perubahan Undang Undang Dasar telah berkembang kurang lebih selama sepuluh tahun terakhir. Namun, selama ini sikap kritis terhadap keberadaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 dihadapi secara represif oleh rejim Orde Baru yang berkuasa. Seperti diketahui bersama, setiap ide untuk melakukan perubahan terhadap UUD tersebut senantiasa dicurigai dan divonis sebagai kegiatan subversif, dianggap merongrong konstitusi dan ideologi negara. Tetapi lain halnya, jika gagasan perubahan ini datang dari rejim Orde Baru sendiri. Setiap perubahan yang datangnya dari rejim terhadap UUD Tahun 1945 justru dianggap sebagai pengamalan secara murni dan konsekuen.
Pada saat ini, momentum perubahan telah tersedia. Berbagai usulan perubahan mengalir dengan deras dari rakyat. Hal ini adalah sebuah kenyataan bahwa rakyat menyambut ide perubahan ini dengan penuh gairah. Bagi MPR yang saat ini tengah bersidang, momentum ini tidak boleh disia-siakan. MPR harus mempersiapkan dirinya untuk menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi rakyat yang berkembang, terutama yang berkaitan dengan substansi perubahan dan strategi apa yang dipilih untuk melakukan perubahan.
Dari berbagai gagasan yang berkembang di masyarakat (baik yang tersurat mau pun yang tersirat) berkaitan dengan substansi konstitusi, Yayasan LBH Indonesia dan Korsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) menangkap ada beberapa isu sentral yang harus dicermati dan menjadi fokus perubahan terhadap UUD 1945, yaitu :
1. Pembukaan UUD 1945
Kalau Pembukaan dianggap sebagai bagian dari UUD Tahun 1945, maka pembukaan harus pula dikaji ulang secara kritis. Seyogyanya tidak menempatkan pembukaan sebagai sesuatu yang sakral. Sebab pembukaan UUD 1945 juga buatan manusia tidak ada bedanya dengan batang tubuh dan penjelasan UUD 1945. Jika batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 bisa diubah (yang sebelumnya juga disakralkan) mengapa pembukaan tidak. Pandangan yang masih mensakralkan pembukaan UUD 1945 sesungguhnya tidak berbeda pandangannya dengan rejim Orde Baru. Yang pasti, pensakralan terhadap pembukaan UUD Tahun 1945 akan menghentikan perdebatan (diskursus) yang sesungguhnya baru dimulai. Hal ini sama halnya menutup akses rakyat untuk bisa memahami dan menerima secara rasional keberadaan pembukaan UUD 1945.
2. Penguatan Basis Lokal
Kekuasaan yang dipraktekkan oleh rejim Orde Baru selama ini terbukti mendorong terjadinya pelemahanan daerah-daerah dan penumpukan kekuasaan di pusat. Ketimpangan hubungan pusat-daerah tersebut menimbulkan berbagai persoalan. Mulai dari penghancuran lingkungan hidup, pemiskinan masyarakat
lokal dan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan persoalan yang berkembang, dalam menyusun UUD Baru harus mempertimbangkan potensi lokal sebagai kekuatan yang harus diberdayakan. Dalam upaya mengopersionalkan konsep memperkuat basis lokal adalah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik pada pemerintahan daerah. Dalam jangka panjang, tetap dibuka ruang sebesar-besarnya bagi pemerintah daerah untuk menentukan pilihan-pilihan lainnya seperti sebagai negara federal.
3. Wilayah Negara
Konstitusi negara harus menetapkan daerah negara RI. Penetapan daerah negara secara tegas diperlukan terutama untuk mencegah munculnya keinginan dari pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain di luar wilayah yang telah ditetapkan. Juga membuka ruang bagi keinginan warga negara, yang tinggal dalam wilayah tertentu dari wilayah Indonesia, untuk memisahkan diri. Konstitusi harus memberikan peluang agar keinginan tersebut dapat diwujudkan melalui cara-cara yang demokratis.
4. Partisipasi Politik Rakyat
Praktek politik yang ada selama ini menunjukkan bahwa partisipasi politik rakyat tidak bisa berjalan karena praktek manipulasi terhadap partisipasi politik rakyat, terutama partisipasi politik rakyat melalui model perwakilan. Apalagi, di dalam model perwakilan tersebut, sebagaimana diterapkan dalam sistem politik Indonesia, disusupi oleh paham-paham diskriminasi politik yang menguntungkan golongan tertentu. Kelompok yang diuntungkan tersebut adalah TNI dan Polri, utusan golongan dan utusan daerah yang duduk di DPR dan MPR berdasarkan pengangkatan.
Dalam upaya menghapus praktek politik diskriminatif dan sekaligus mewujudkan partisipasi yang betul-betul legitimate dan memuaskan rakyat, maka sistem pengangkatan anggota DPR dan MPR harus dihapuskan dan partisipasi politik secara langsung harus menjadi prioritas, manakala keputusan-keputusan strategis yang berpengaruh pada nasib rakyat akan diambil.
5. Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judisial saat ini diperlukan sebagai jawaban atas kegagalan UUD Tahun 1945 dalam menyediakan satu sistem kekuasaan negara yang demokratis. UUD Tahun 1945 memberikan kekuasaan yang besar kepada eksekutif dan telah membuka peluang terjadinya pengkaburan batas-batas kekuasaan dan sentralisasi kekuasaan di tangan presiden. Prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis tidak dapat diwujudkan melalui sistem kekuasaan yang dibangun oleh UUD Tahun 1945. Dalam praktek kekuasaan di Indonesia, unsur utama “pelintas batas (crossing border) kekuasaan negara” ini adalah militer yang seharusnya berada di bawah kekuasaan eksekutif.
6. Hak Asasi Manusia
Konstitusi sebagai alat kontrol rakyat terhadap negara perlu mengakomodasikan nilai-nilai HAM. Konstitusi memberikan kewajiban bagi negara untuk menghargai HAM, dan melalui nilai-nilai HAM itulah rakyat dapat menilai pemerintahannya. Konstitusi juga memberikan kewajiban agar pemerintah meratifikasi semua instrument HAM yang berlaku umum di dalam masyarakat internasional.
7. Peradilan yang Independen
Peradilan yang independen adalah salah satu kondisi yang dibutuhkan agar konflik-konflik yang berkembang akan mendapatkan penyelesaian yuridis yang adil. Peradilan harus mampu memberikan jaminan bahwa semua bentuk pelanggaran hak, termasuk pelanggaran HAM akan diselesaikan secara jujur. Peradilan yang independen terkait langsung dengan kondisi eksternal (hubungan dengan kekuasaan lain) dan kondisi internal (skill dan komitmen moral). Kendala eksternal muncul sebagai buah dari kerancuan kekuasaan negara, terutama karena ketidakjelasan batas-batas antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Dalam konteks itu, peradilan yang tidak independen adalah cermin dari kekuasaan yang tidak demokratis. Sementara, peradilan yang independen dapat menjadi benteng akhir dari demokrasi.
STRATEGI
Strategi perubahan Undang Undang Dasar berkaitan dengan pertanyaan : bagaimana perubahan itu akan dilaksanakan? Perubahan sebuah konstitusi tentu tidaklah dapat dipersamakan dengan perubahan sebuah kebijakan umum biasa. Ia berkaitan langsung dengan ide-ide dasar kehidupan bernegara. Kadar partisipasi rakyat dalam proses perubahan ini seharusnya jauh lebih tinggi pula. Partisipasi itu tidaklah mencukupi hanya dengan mengandalkan wakil-wakil rakyat yang duduk di MPR. Rakyat wajib diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan aspirasinya.
Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan dalam proses perubahan UUD, yaitu :
1. Perubahan ini sudah selayaknya tidak mewakili sikap ketergesa-gesaan. Sejarah telah membuktikan, konstitusi yang disusun untuk kepentingan darurat akan memberikan peluang yang sangat besar untuk diselewengkan.
2. Tuntutan perubahan ke arah perwujudan negara yang demokratis dan menghargai HAM pada hakikatnya, adalah tuntutan perubahan yang sangat mendasar terhadap sendi-sendi kehidupan bernegara sebagaimana di atur di dalam UUD Tahun 1945. Dengan mengacu pada substansi UUD Tahun 1945, tuntutan perubahan ini sudah barang tentu tidak cukup hanya direspon dengan sekedar upaya tambal sulam dan hanya berangkat dari keinginan untuk mengatasi masalah-masalah teknis politik yang berkembang akhir-akhir ini, seperti misalnya masalah masa jabatan dan prosedur pemilihan presiden.
3. Selama berlakunya, UUD Tahun 1945 telah dijadikan dasar bagi pembuatan Ketetapan MPR, undang undang dan berbagai kebijakan publik lain. Dari sekian produk hukum yang dilahirkan, ada yang bersifat menghambat perubahan, mengingkari hak asasi manusia, dan menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Terhadap berbagai produk hukum itu perlu ada satu kajian khusus, apakah produk hukum itu perlu dicabut atau diintegrasikan ke dalam UUD yang baru.
4. Momentum perubahan ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk membuat satu UUD baru yang jauh lebih legitimate dan betul-betul dapat dijadikan alat bagi rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Untuk itu, partisipasi rakyat menjadi kunci utama dalam proses penyusunannya. Sikap akomodatif terhadap partisipasi rakyat dalam hal ini tidak bersumber pada political charity, tetapi pada kewajiban untuk menghargai hak-hak politik (political rights) rakyat.
5. Perubahan UUD dengan demikian harus menjadi agenda politik rakyat, bukan semata-mata menjadi agenda politik pemerintah ataupun para elit politik. Partisipasi yang luas sekaligus merupakan proses pendidikan politik bagi rakyat.
6. Untuk menghindari konflik dalam perubahan pemerintahan, maka diperlukan memilah dan memilih bagian mana yang harus didahulukan untuk diubah, sehingga ada strategi jangka pendek dan jangka panjang.
Strategi Jangka Panjang
Dengan melihat keluasan dan kedalaman persoalan yang dihadapi, pada prinsipnya YLBHI dan KRHN merekomendasikan adanya Pembaruan (renewal) konstitusi. Dan apabila mempertimbangkan pentingnya partisipasi rakyat dalam proses pembaruan tersebut, maka diperlukan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, baik secara langsung maupun tak langsung.
Pada tingkat teknis, implementasi strategi perubahan tersebut merekomendasikan kepada Sidang Umum MPR Tahun 1999 untuk membuat TAP MPR tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc Perubahan UUD. Panitia ini akan bekerja selama 1 (satu) tahun untuk menyusun Rancangan Undang Undang Dasar yang akan di bawa ke Sidang Istimewa MPR tahun 2000 nanti. Panitia ini bekerja dengan kewajiban penuh untuk semaksimal mungkin menyerap aspirasi rakyat.
Strategi Jangka Pendek
Dalam jangka pendek, amandemen terhadap beberapa pasal UUD 1945 perlu dilakukan guna mengatasi keperluan-keperluan mendesak yang harus segera dituntaskan oleh Sidang Umum MPR tahun 1999.
Amandemen dilakukan dalam kaitannya dengan :
A. Penguatan Fungsi Kontrol DPR Dan MPR Terhadap Presiden
Dalam konteks UUD 1945, kekuasaan DPR dan MPR dalam melakukan kontrol terhadap presiden perlu ditingkatkan, diperjelas, dan dibuat lebih rinci. Kriteria untuk mengukur apakah presiden telah melanggar haluan negara harus diperjelas dan dibuat lebih terukur, sehingga dapat dioperasionalkan.
Dalam jangka pendek, penguatan fungsi kontrol ini dianggap sangat penting, agar dalam masa transisi ini pemerintah betul-betul dalam kontrol rakyat.
B. Penempatan Militer Di Bawah Kendali Pemerintahan Sipil
Dalam konteks Indonesia penempatan militer dalam ruang kendali pemerintahan sipil melalui lembaga negara menjadi sesuatu yang mendesak Ekspansi kekuasan militer ke wilayah kekuasaan non-militer memang harus dihentikan. Tuntutan penghapusan Dwi Fungsi TNI berakar pada kemauan rakyat, agar TNI kembali ke dalam jangkauan kontrol rakyat. Amandemen UUD 1945, terutama pada Pasal 10 UUD 1945, harus dinyatakan secara tegas bahwa TNI hanya sebagai angkatan perang, tidak boleh masuk ke bidang-bidang di luar bidang militer.
TIM PENYUSUN:
1. Dadang Trisasongko (YLBHI)
2. Budi Widjardjo (YLBHI)
3. Firmansyah Arifin (KRHN)
4. Yuli Swasono (KRHN)
5. Latief Farikhun (KRHN)
6. Mega Christina (ANDI)
http://www.edu-doc.com/doc/hubungan-batang-tubuh-uud-dengan-uud-1945.html